Related image

Pokerqq13 Agen Poker Terpercaya - Sejujurnya, saya masih agak kesulitan dalam memformulasikan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan seperti apa pengalaman menonton Avengers: Endgame. Yang jelas, instalmen pamungkas dari sepuluh tahun terakhir Marvel Cinematic Universe (MCU) ini merupakan sebuah sajian spektakuler. Saya bisa mencapai kesimpulan demikian karena saya masih bisa dibuat menangis sesenggukan berulang kali (!) sementara di waktu yang sama, diri ini dihujani sederet gangguan yang sungguh mendistraksi fokus berupa: a) sepasang kekasih di kursi sebelah asyik berdiskusi dengan volume suara cukup kencang seolah-olah sedang berada di kafe, b) krucil-krucil berusia tak lebih dari 5 tahun mengoceh tak karuan yang akhirnya baru berhenti setelah orang tuanya saya tegur, dan c) sinar ponsel yang menyilaukan dari penonton yang tak tahu caranya menurunkan brightness. Bisa dibayangkan dong betapa dongkolnya mesti berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak mempunyai kepekaan semacam ini? Anehnya, Avengers: Endgame tetap membawa saya pada pengalaman menonton yang mungkin saja tidak akan dijumpai dalam waktu dekat. Ada banyak gegap gempita yang membuat saya girang bukan main bak bocah cilik yang baru saja diberi mainan baru, ada banyak canda tawa yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal sampai perut mengencang, ada banyak hamparan visual mencengangkan yang membuat rahang saya terjatuh ke lantai, dan ada banyak momen-momen emosional yang membuat saya urung ke toilet lantaran cairan dalam tubuh telah dikeluarkan melalui mata. Berlebihan? Tunggu hingga kalian mengetahui kalau tubuh saya bergetar selama bermenit-menit selepas menonton dan tidak tahu lagi harus mengucap apa.


Dengan impak sedemikian hebat, sudah barang tentu Avengers: Endgame telah melampaui segala ekspektasi yang saya tanamkan untuk film ini. Seusai menyaksikan Avengers: Infinity War (2018), saya sempat dirundung sikap skeptis. I mean, Infinity War sudah keburu menetapkan standar sangat tinggi bagi superhero movies. Pertarungannya liar sampai-sampai planet pun bisa dilempar-lempar seenaknya selaiknya bola basket, Thanos membuktikan bahwa dia adalah definisi dari supervillain yang sesungguhnya, dan babak klimaksnya…phew. Pertempuran di Wakanda beserta momen “I don’t feel so good” akan selalu dikenang oleh para penggila budaya populer sampai kapanpun. Jadi, apa yang bakal dikedepankan oleh Anthony dan Joe Russo selanjutnya demi menghadirkan “salam perpisahan” yang membekas kuat di ingatan para penggemar? Kepenasaran inilah yang menggelayuti benak tatkala hendak menyaksikan Endgame. Terlebih lagi, pihak Marvel Studios pun tidak banyak memberikan bocoran terkait kegilaan-kegilaan seperti apa yang bisa diantisipasi disini. Untuk materi promosi berupa trailer saja, mereka mencomotnya dari 15 menit pertama. Itu berarti, kita tidak diberi bayangan apapun mengenai 165 menit terakhir sekalipun ada beragam teori bermunculan di dunia maya. So exciting, rite? Dan ya, perasaan bersemangat yang membuncah-buncah ini tetap bertahan sampai lampu bioskop dimatikan lalu saya pun tenggelam ke dalam narasi (sampai kemudian disadarkan oleh penonton-penonton menyebalkan di atas kalau ini hanyalah film, damn it!). Ada beragam emosi yang mencuat secara silih berganti sedari menit pembuka sampai menit penutup sehingga sulit bagi saya untuk tidak berujar, “wow, wow, wow!”



Melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Infinity War, penonton kembali dipertemukan dengan sejumlah personil Avengers yang masih tersisa seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rocket (Bradley Cooper), James Rhodes (Don Cheadle), serta Clint Barton (Jeremy Renner). Selama setidaknya 30 menit pertama, Endgamememilih untuk menempatkan fokusnya pada fase berduka yang merongrong karakter-karakter ini pasca kegagalan mereka dalam menghentikan Thanos (Josh Brolin) untuk melenyapkan separuh penghuni alam semesta. Kita melihat Tony yang memilih untuk melanjutkan hidup bersama Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) di pedesaan, Bruce yang akhirnya mampu mendamaikan dirinya dengan alter egonya memilih untuk menjalani hidup sebagai selebriti kecil-kecilan, Thor yang mencari pelampiasan guna menutupi rasa bersalahnya lantaran telah gagal menjadi seorang pelindung, serta Steve yang memutuskan untuk membentukgroup therapy bagi mereka yang belum mampu menerima kenyataan bahwa orang terkasih telah tiada. Ya, menit-menit awal yang berlangsung dengan nada penceritaan muram dan cenderung depresif ini, si pembuat film berupaya menunjukkan sisi lain dari para personil Avengers yang manusiawi. Mereka berbuat kesalahan, mereka gagal, dan mereka juga terpuruk. Yang kemudian membuat mereka layak menyandang gelar sebagai “pahlawan” adalah kesediaan untuk bangkit dari keterpurukan lalu sebisa mungkin memperbaiki kesalahan di masa lampau meski ada konsekuensi besar yang menanti. Inspiratif? Jelas. Menariknya lagi, Endgame tak hanya mengajak penonton untuk memperbincangkan perihal penerimaan dan melanjutkan hidup, tetapi juga soal keluarga, persahabatan, serta pengorbanan yang seketika menempatkan seri ini sebagai salah satu superhero movie dengan narasi paling kompleks.

Walau mengetengahkan bahan pembicaraan yang tergolong sendu dan gelap,Endgame tak pernah melupakan khitahnya sebagai tontonan superhero yang mengusung sikap optimis sekaligus sajian eskapisme yang bertujuan untuk memberi penghiburan kepada penonton yang membutuhkan obat pelepas penat. Itulah mengapa, sekalipun film merentang panjang hingga 3 jam lamanya, rasa kantuk bukanlah satu hal yang patut dirisaukan. Disela-sela narasi mengenai pergolakan batin yang ada kalanya depresif, Russo bersaudara beserta duo penulis naskah Christopher Markus-Stephen McFeely tak lupa untuk tetap menghadirkan ciri khas dari MCU, yakni humor dan hati. Penonton yang datang ke bioskop semata-mata ingin memperoleh hiburan dapat menjumpainya melalui pertempuran-pertempuran heboh di sepanjang durasi yang lantas mencapai titik kulminasinya pada satu jam terakhir yang membelalakkan mata saking epiknya, dan melalui asupan-asupan humor yang keseluruhannya mampu dilontarkan secara efektif. Entah itu dari celetukan-celetukan para karakter (saya ngakak lepas berderai-derai sewaktu Natasha membahas “email dari rakun”) yang tak sedikit diantaranya turut menyelipkan referensi ke budaya populer maupun dari tindakan-tindakan konyol para personil dimana setiap karakter protagonis diberi kesempatan untuk ngelaba. Paul Rudd sebagai Scott Lang memperoleh jatah terbesar mengingat pembawaan karakternya sendiri memang easygoing, lalu disusul oleh Chris Hemsworth yang bertransformasi dalam wujud Thor yang belum pernah kalian lihat sebelumnya, Mark Ruffalo kembali melipur lara penonton berkat interpretasinya sebagai Hulk yang sekali ini mampu mengelola emosi, dan Bradley Cooper juga lucu dalam menyuarakan Rocket yang ceriwisnya bukan kepalang. Kocak, kocak, kocak.




Berkelindan bersama segala kemeriahan medan pertempuran dan adu ngebanyol adalah sederet elemen dramatik yang membuat hati mencelos. Salah satu yang menjadi favorit saya secara pribadi (well, ini mungkin akan bersifat spoilerkarena adegannya sendiri tak pernah dipromosikan) adalah ketika para personil Avengers memiliki kesempatan untuk menjelajah waktu ke tahun-tahun lampau demi mencuri “batu akik ajaib” agar tak jatuh ke tangan raksasa ungu berdagu getuk lindri tersebut. Diniatkan sebagai momen untuk bernostalgia dan penghormatan terhadap fase-fase MCU terdahulu, sebagian adegan yang muncul dalam misi penjelajahan waktu ini memiliki tonjokan hebat ke emosi. Adegan-adegan yang saya maksud antara lain saat Thor mendapat kesempatan untuk mengucap salam perpisahan kepada ibunda di menit-menit terakhir sebelum beliau berpulang, ketika Tony memperoleh quality conversation bersama ayahanda yang tak pernah dibayangkannya, serta tatkala Steve bisa melihat langsung belahan jiwanya. Disamping performa hebat dari jajaran pemain khususnya Robert Downey Jr. (serius, dia layak diganjar nominasi Oscar!), Chris Hemsworth, Chris Evans, Scarlett Johansson, dan Paul Rudd, kesanggupan penonton untuk menginvestasikan emosi pada banyak adegan merupakan hasil kerja keras para tim dalam membangun MCU selama sepuluh tahun terakhir secara terstruktur. 


Kita melewatkan banyak waktu bersama para personil Avengers, kita menyaksikan mereka bertumbuh sebagai karakter, kita mendengar kisah hidup mereka, dan kita pun menjadi saksi kunci atas perjuangan-perjuangan mereka yang tak pernah sekalipun mudah. Tanpa pernah disadari, mereka telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Maka begitu Endgame menghamparkan pertarungan terakbar dalam sejarah hidup setiap personil, sulit untuk membendung air mata. Ada kebahagiaan karena film memunculkan karakter-karakter favorit dalam satu titik, ada kebanggaan bisa melihat mereka sanggup mencapai posisi ini, dan ada kesedihan karena kemungkinan untuk tak lagi berjumpa terbuka begitu lebar. Saat film akhirnya mencapai ujung durasi, saya hanya bisa berkata lirih, “thank you, Stan Lee! Thank you, MCU! I love you 3000”. Endgame jelas merupakan persembahan yang sangat istimewa untuk para penggemar MCU yang telah setia menemani selama satu dekade terakhir. Jika saja saya menonton film ini bersama orang-orang terkasih, saya mungkin langsung memeluk mereka erat-erat setelah lampu bioskop dinyalakan.